Saturday, September 3, 2016

Dejavu Perjuangan Perhutanan Sosial (3)

Salah satu peserta sedang mempresentasikan hasil diskusi kelompok

Pada sesi malam, 2 September 2016, peserta workshop diminta oleh fasilitator untuk membuat identifikasi potensi desa. Selanjutnya, pada hari ketiga, masing-masing desa diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi masing-masing desa. Beberapa hal menarik didapat dari presentasi-presentasi tersebut.
Pertama, semua desa mengakui, desanya memiliki kawasan hutan yang saat ini berstatus Hutan Produksi. Pengakuan ini secara politis menunjukkan, masing-masing desa sudah mengetahui dan menyadari kawasan yang disebut “hutan produksi” oleh pemerintah merupakan bagian dari wilayah desanya. Namun, pemetaan partisipatif oleh desa memang belum dilakukan, sehingga batas-batas desa belum dikerjakan baik secara pemetaan lapangan maupun digitasi peta tersebut.
Kedua, semua desa memiliki kelengkapan kelembagaan yang baik, mulai dari kelompok keagamaan, pemuda, perempuan, petani, hingga Kelompok Pengelola buah Kepayang. Namun, hanya desa Durian Rambun yang telah memiliki Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Persoalan yang mengemuka adalah dibutuhkannya peningkatan kapasitas bagi pengelola kelompok-kelompok masyarakat tersebut.
Ketiga, potensi sumberdaya alam sangat melimpah di lima desa tersebut. Mulai dari satwa endemik salah satunya adalah harimau Sumatera, hasil hutan bukan kayu antara lain kopi dan kepayang, air terjun sebagai potensi wisata, hingga tambang galian C dan emas.
Persoalan tata batas telah menjadi kesadaran lima desa tersebut untuk segera diselesaikan. 
“Berdasarkan hasil survei, kegagalan kita di masa lalu mengapa tidak mendapatkan SK HPHD adalah karena tata batas desa belum jelas. Kami berharap, konsorsium IPHD ini dapat ‘meluruskan’ tata batas di desa kami”, kata salah satu perwakilan desa Birun.
Muncul juga pertanyaan dari salah satu tokoh adat desa Durian Rambun: “Apakah dengan adanya hutan itu, pemerintah memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat mengelolaanya dengan baik demi kesejahteraan masyarakat?”

Pertanyaan tersebut muncul, karena memang ada kekhawatiran dari masyarakat bahwa kalau hutan di tempat mereka menjadi Hutan Desa ataupun Hutan Adat, masyarakat kemudian tidak boleh berladang lagi atau tidak diperkenankan masuk ke hutan. Oleh narasumber dan fasilitator, pertanyaan tersebut dijawab dengan lugas bahwa justru jika hutan di desanya diperjuangkan untuk menjadi Hutan Desa dan Hutan Adat, maka hutan akan aman dari ancaman konversi hutan menjadi perkebunan ataupun pertambangan.
Menjelang siang hingga sore, masing-masing desa mendiskusikan rencana tindak lanjut (RTL) setidaknya untuk 6 bulan ke depan. Mayoritas lima desa tersebut mengambil langkah pertama untuk mensosialisasikan apa yang didapat dalam workshop ini ke warga desa. Setelah itu, masing-masing desa akan membentuk tim desa untuk merealisasikan RTL yang telah disusun. Salah satu agenda urgent yang dilakukan oleh lima desa tersebut adalah penataan batas kawasan desa dan hutan. (selesai)

Friday, September 2, 2016

Dejavu Perjuangan Perhutanan Sosial (2)

Peserta Diskusi Kelompok sedang menyiapkan presentasinya

MENURUT WIDYO, KEKUATAN DARI UU NOMOR 6 TAHUN 2014 ADALAH DESA MEMILIKI HAK ASAL USUL DAN HAK TRADISIONAL DALAM MENGATUR DAN MENGURUS KEPENTINGAN MASYARAKAT SETEMPAT.
Sesi pagi sampai tengah hari, Widyo Hari Murdianto, narasumber yang juga dosen APMD Yogyakarta memberikan materi tentang UU Desa. Pasal per pasal dijelaskan dengan detail. Peserta yang merupakan Kepala Desa, BPD dan tokoh masyarakat di 5 desa terlihat antusias, karena ternyata tidak ada satupun peserta yang pernah membaca atau mempelajari UU Desa. Mengherankan, karena UU Desa hampir dua tahun diimplementasikan.
"Misalnya pada pasal 18 B ayat 2, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat; memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Tanggapan dari peserta beragam. Sebagai contoh, Basarudin, Kepala Desa Tiaro, menyatakan bahwa mayoritas Kades yang hadir di sini, termasuk dirinya yang baru dilantik 3 bulan ini, merasa sangat berterimakasih karena mendapatkan pengetahuan yang banyak soal UU Desa. Pengetahuan ini sangat berharga untuk lima desa ini terutama berkaitan dengan pengelolaan hutan yang ada di desa masing-masing.
Lebih jauh, Afton tokoh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Durian Rambun, justru menyayangkan bahwa Karang Taruna tidak tersebut dalam UU Desa ini.
“Tentang Musyawarah Desa. Berdasarkan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, ada 5 unsur masyarakat yang ada, tetapi dari 5 unsur tersebut, Karang Taruna tidak ada. Bagaimana bisa Karang Taruna tidak dilibatkan dalam Musdes? Pengalaman Durian Rambun partisipasi pemuda sangat penting untuk memberikan masukan. Karang Taruna tidak dianggarkan di ADD. Tidak ada ruang bagi karang taruna di UU ini.”
Menanggapi hal tersebut, Widyo Hari menanggapi bahwa Karang Taruna maupun PKK sudah termasuk bagian dari organisasi kemasyarakat yang juga diakui oleh UU ini. Namun, memang tidak disebutkan secara spesifik.
Terkait dengan Hutan Desa, Widyo menambahkan bahwa Musyawarah Desa dapat dijadikan alat untuk memasukkan agenda Pengelolaan Hutan Desa maupun Hutan Adat ke dalam RPJMDes maupun APBDes. Sehingga kegiatan ini dapat secara resmi menjadi kegiatan Desa. Sebagai tahap awal bisa dimulai dengan penataan batas desa dan batas hutan desa secara partisipatif dan terjun langsung ke lapangan.
Sementara itu, Yando Zakaria, fasilitator dari KARSA Yogyakarta mengungkapkan hal yang menarik. Bahwa apa yang ketahui selama ini dari pemerintah, politisi, maupun partai tertentu bahwa tiba-tiba sekarang Desa mendapatkan uang yang begitu banyak dari Pemerintah. Apakah memang benar-benar baru seperti itu?
“Salah ! Dari dulu uangnya segitu. Tapi yang dipegang oleh kades itu 15% (ADD). 85% siapa yang pegang? Ketua Kel PNPM Mandiri, ketuakelompok PMKS dan proyek-proyek yang lain. Ada sekitar 110 judul peraturan anggaran desa termasuk PNPM, PPIP, Kansimas, SPP atau proyek-proyek lain. Yang berubah itu penguasanya. Kalau dulu yang pegang pinpro A pinpro B, sekarang jadi satu. Jadi bohong mereka itu kalau mengatakan Desa sekarang tiba-tiba kaya, wong itu memang uang Desa dari dulu kok.
Lebih lanjut, Yando memberikan penjelasan bahwa dalam UU Desa anggaran itu dibagi dua untuk hal. Pertama, ‘Desa Membangun’ yaitu pembagunan desa berdasarkan sumberdayanya sendiri. Satu-satunya pedoman dalam pembangunan itu adalah RPJMDes.
Kedua, ‘Membangun Desa’ yaitu siapa saja bisa bangun di desa, termasuk pemerintah pusat, CSR, dll berdasarkan pembagunan kawasan perdesaan. Oleh karena itu, baik ‘desa membangun’ maupun ‘membangun desa’ keduanya perlu untuk dimasukkan dalam RPJMDes supaya tidak terjadi tumpang tindih.
Saat ini, karena sudah terlalu lama desa diseragamkan oleh Orde Baru, maka di desa sekarang mengalami 3 krisis yang akut yaitu krisis agraria, krisis ekologi dan krisis sosial.
UU Desa ini diharapkan dapat mengatasi ketiga krisis tersebut. Tetapi memang pekerjaan tidak mudah. Diperlukan perbaikan relasi antara supra desa dan desa, antara desa dan warga desa, antar warga desa sendiri.
Untuk menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh oleh 5 desa ini ke depan, maka peserta workshop pada sesi malam diajak untuk mengidentifikasi potensi yang ada di desanya.

Thursday, September 1, 2016

Dejavu Perjuangan Perhutanan Sosial (1)

Mantan Tenaga Ahli Pansus RUU Desa DPR RI menjadi Narasumber

SEPERTI DEJAVU, WARGA LIMA DESA KABUPATEN MERANGIN DIPERTEMUKAN DALAM SEBUAH KONSOLIDASI TENTANG SESUATU YANG TIDAK SEPENUHNYA HAL BARU BAGI MEREKA, HUTAN DESA DAN HUTAN ADAT. 
Masih terngiang proses yang mereka lalui sejak 2007 sampai setidaknya tahun 2012. Kali ini mereka dipertemukan dalam kegiatan Workshop UU Desa yang diadakan oleh Konsorsium IPHD Merangin yang dikelola oleh Yayasan SatunamaLembaga ArupaGerakan Masyarakat Cinta Desa (G-cinDe), dan Universitas Mercu Buana Yogyakarta , dengan dukungan dari MCA - Indonesia.
Kali ini kami akan menginformasikan hari per hari acara ini. Berlangsung selama tiga hari tanggal 31 september - 2 Agustus 2016 di Hotel Royal Bangko. Menghadirkan Yando Zakaria Mantan Tenaga Ahli DPR untuk RUU Desa dan Widyo HM Dosen APMD Yogyakarta sebagai narasumber, dan difasilitasi oleh Damar DN dari Yayasan Satunama. Workshop ini bertujuan membedah UU Desa untuk menemukan strategi dan pelaksanaan UU Desa dalam memperkuat akses masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam (Hutan Desa).
Sebelum membincangkan lebih dalam tentang UU Desa, pada hari I para penggiat Perhutanan Sosial dari 5 desa tersebut diajak oleh fasilitator dan narasumber untuk memanggil ulang memori mereka tentang proses perjuangan yang telah dilakukan selama ini untuk menyelamatkan hutan yang ada di desanya.
Dalam proses pemanggilan memori tersebut, ada kisah keberhasilan ada pula kisah ketidakberuntungan. Sebagai contoh, proses pengajuan Hutan Desa oleh masyarakat Durian Rambun tergolong lebih progresif kemajuannya ketimbang masyarakat Lubuk beringin, Lubuk birah, dan Birun. Sementara itu, agak sedikit berbeda, masyarakat Tiaro menempuh jalur beda yaitu mengupayakan rekognisi Hutan Adat yang mereka klaim seluas 200 hektar di desanya.
Durian Rambun melaju pesat tidak hanya telah mendapatkan SK HPHD dari Gubernur Jambi, tetapi hingga kini kegiatan-kegiatan yang lain telah dilakukan misalnya membangun ekowisata dan menghitung potensi karbon hutan desa. Bahkan telah 2 tahun mendapatkan kompensasi jasa lingkungan hingga 150 juta per tahun atas upaya penyerapan karbon dari Hutan Desa Durian Rambun. Akhir tahun ini, LPHD Durian Rambun akan mendapatkan sertifikat ekolabel melalui skema PHBML-LEI.
Betapapun demikian, aktivis Hutan Desa Durian Rambun tetap mengajak 4 desa yang lain untuk terus memacu proses perjuangan ini di desa masing-masing hingga setidaknya pencapaian dapat setara atau menyusul sepertihalnya pencapaian masyarakat Durian Rambun.
Menurut Yando Zakaria, jika proses pengupayakan Perhutanan Sosial di 5 desa tersebut bukan hal yang baru, maka perlu mengenali kondisi saat ini, Mengevaluasinya, hingga masyarakat menemukan tahapan-tahapan selanjutnya untuk dilakukan. Hal yang diluar dugaan, 3 desa yaitu Durian rambun, Lubuk beringin, dan Lubuk birah pada dasarnya merupakan satu marga yaitu Margo Pesanggrahan. Secara lugas, mereka menjawab bahwa Margo Pesanggrahan sebagai masyarakat adat masih dihidupi hingga sekarang. Persoalannya penyeragaman kampung-kampung di Indonesia sejak 1979 melalui UU 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah “mencabik-cabik” masyarakat adat di Indonesia khususnya di luar Jawa.
Berbekal hari pertama ini, malam hari peserta sambil istirahat diminta untuk memikirkan dua hal yaitu apa tahapan selanjutnya dalam memperjuangkan Perhutanan Sosial, dan yang kedua memikirikan Margo Pesanggrahan sebagai ikatan adat dari tiga desa tersebut.