Sunday, February 26, 2017

Pertama Kali di Indonesia, Pembibitan Kepayang !

Biji kepayang yang mulai tumbuh kecambahnya


Pernah mendengar istilah mabuk kepayang? Ya, memang kepayang dapat memabukkan jika proses mengkonsumsinya tidak melalui proses yang benar. Kepayang adalah jenis pohon berbuah yang dalam bahasa latinnya disebut Pangium Edule. Penyebutan kepayang lazimnya dilakukan di pulau Sumatera. Sementara itu, di Jawa pohon buah ini sering dikenal dengan kluwek. Jika anda pernah makan brongkos di Magelang atau Rawon di Surabaya, buah kluwek menjadi salah satu bahannya, yang kemudian berdampak pada warna makanan tersebut menjadi kehitam-hitamanan.

Di Jambi, masyarakat adat khususnya di Kabupaten Merangin terbiasa mengolah buah ini menjadi minyak goreng. Pohon-pohon kepayang di Merangin tumbuh alami di hutan dan di ladang masyarakat. Masyarakat memelihara dan memanfaatkan buahnya. Saya bertanya kepada banyak masyarakat di desa-desa seputar Merangin, bahwa masyarakat tidak pernah membudidayakan tanaman ini dalam arti membuat pembibitan lalu menanamnya. 

Konsorsium IPHD yang terdiri dari Yayasan Satunama, Gerakan Masyarakat Cinta Desa (G-cinDe), Lembaga Arupa, dan Universitas Mercu Buana Yogyakarta dengan dukungan pendanaan dari Yayasan Kehati, MCA - Indonesia dan MCC mencoba untuk menangkap potensi kepayang di Merangin. Dengan kandungan Omega 3 dan Omega 6 yang terdapat di minyak kepayang, komoditas ini sangat layak untuk dikembangkan dan dibudidayakan. Kami telah berbicara dengan masyarakat tentang ide tersebut, dan masyarakat menyambut dengan baik. Salah satu desa yang siap untuk menciptakan sentra pembibitan kepayang adalah Desa Lubuk Beringin Kecamatan Muara Siau Kabupaten Merangin.

Lewat pendamping desanya yaitu Rajo Mudo Arief Musvidi, masyarakat membuat pembibitan buah kepayang di salah satu lahan milik warga dengan luas 3 hektar. Namun untuk saat ini, lahan yang baru dimanfaatkan untuk pembibitan kepayang tersebut berukuran 10 meter x 13 meter. 

Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Pengelola Kepayang Desa Lubuk Beringin bergotong royong mengumpulkan buah kepayang yang jatuh dari pohonnya. Mereka mengumpulkan buah tersebut menjadi satu, lalu membiarkan buah tersebut busuk. Tujuan utamanya yaitu membusukkan daging buah, untuk kemudian dapat mengambil biji kepayang. Setelah biji di dapat, lalu biji tersebut disemaikan tidak ditanah, melainkan dimasukkan ke dalam karung goni. Mengapa disemai di karung goni? Karena di dalam karung goni, air yang disiramkan dapat tersimpan dalam karung goni, sehingga kondisi kelembapan dapat terjaga.

Kelembapan ini memicu kecambah muncul dari biji buah kepayang. Setelah biji tersebut muncul kecambahnya, lalu biji dipindahkan di polibag. Membutuhkan waktu sekitar 2 bulan untuk biji tersebut mulai muncul kecambahnya di dalam karung goni. Setelah itu, biji yang sudah diletakkan di polibag lalu disiram. 

Masyarakat Lubuk Beringin telah melakukan pembibitan sekitar 2.000, dan yang berhasil sekitar separuhnya. Gagal separoh karena telah melalui proses belajar dengan melakukan persemaian di tanah tadi. Kemudian sekitar 3 bulan setelahnya, ketika kecambah tersebut tumbuh besar dan tinggi dengan kira-kira 1 meter 20 centimeter, lalu dipindahkan dari polibag ke tanah lokasi penanaman kepayang. 

Menurut warga desa, dengan panjang batang sekitar 1 meter tersebut, pohon kepayang kecil mempunyai akar sekitar 50 cm. Artinya, dengan polibag yang kecil, akar akan tembus sampai ke tanah. Oleh karena itu, diperlukan alat khusus untuk mengambil akar tersebut di tanah. Agar semaksimal mungkin akar dapat terselamatkan dan dapat ikut tertanam di lokasi penanaman. 

Desa Lubuk beringin tidak sendiri dalam melakukan pembibitan ini. Ada 4 Desa lain yang melakukan hal yang sama dalam bingkai program IPHD yang diinisiasi oleh Satunama dan anggota konsorsiumnya. Desa lain tersebut yaitu Durian Rambun, Lubuk Birah, Tiaro, dan Birun. Tetapi memang proses pembibitan dari 4 desa tersebut tidak seprogresif yang dilakukan di Desa Lubuk Beringin. Desa-desa yang lain tersebut saat ini baru pada tahap penyiapan lahan dan pengumpulan buah kepayang untuk selanjutnya di semaikan.

Kegiatan pembibitan ini merupakan bagian dari program besar institusionalisasi pengelolaan hutan desa dan adat di 5 desa tersebut. Kepayang diproyeksikan menjadi tanaman endemik yang dilestarikan oleh 5 desa tersebut dengan tujuan untuk mengkonservasi hutan desa dan hutan ada yang ada di wilayah tersebut. Selain itu, pengolahan biji kepayang menjadi minyak kepayang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa nantinya.

Pelatihan Pengolahan Kepayang (2)

Minyak kepayang hasil penyaringan secara bertahap menjadi Virgin Oil

Setelah awal Januari 2017, masyarakat 5 Desa mendapatkan pelatihan tentang dasar-dasar produksi minyak goreng dari biji buah kepayang, kali ini masyarakat mendapatkan pelatihan dan praktek langsung bagaimana membuat minyak kepayang dengan alat-alat yang lebih modern.

Berikut ini, alat-alat yang di gunakan masyarakat waktu dulu, alat-alat yang digunakan sekarang, fungsi serta kelebihannya.

Untuk alat mengangkut dari pohon kepayang menuju rumah, biasanya masyarakat menggunakan alat pengangkut semacam wadah dari Ambung bambu menjadi Ambung rotan. Kelebihan bahan rotan adalah kualitasnya lebih bagus dan awet tidak mudah rusak. Tentang bahan baku rotan, sudah terdapat di lingkungan masyarakat di 5 desa ini.

Wadah atau tempat untuk megukus buah kepayang yang dulu menggunakan kuali berbahan tanah liat, saat ini menggunakan kukusan rebus berbahan alumunium. Selain memiliki kapasitas lebih banyak, kukusan ini tidak mudah pecah, dan lebih cepat menghatarkan panas sehingga lebih cepat mengukus buah kepayang.

Alat pencukil yang dulu menggunakan bambu, saat ini menggunakan besi. Pencukil adalah alat yang digunakan untuk memisahkan antara kulit dan daging kepayang dengan biji kepayang yang akan digunakan sebagai bahan untuk pembuatan minyak kepayang. Keunggulan dari pencukil besi ini yaitu alatnya lebih kuat dan tahan lama. Sehingga membantu mempercepat proses pencukilan biji kepayang.

Dan alat satu ini yang paling berat dan bernilai mahal yaitu alat penggilingan atau penghacuran biji kepayang. Dahulu masyarakat menggunakan balok kayu besar yang di atasnya diduduki oleh beberapa orang untuk menindih sejumlah biji kepayang yang ditaruh di dalam wadah rotan. Saat ini sudah ada alat penggiling atau penghancur kepayang dengan menggunakan mesin yang berbahan bakar bensin premium. Alat ini jelas sangat efektif dan efisien dalam proses penggilingan biji kepayang. 

Satu lagi alat yang diadakan untuk semakin mempermudah dan meningkatkan volume produksi minyak kepayang yaitu alat press. Dahulu masyarakat menggunakan kekuatan tangan untuk memeras atau mengepres serbuk kepayang untuk kemudian menjadi minyak kepayang. Saat ini, masyarakat menggunakan mesin press dengan kekuatan kempa hidrolik. Selain lebih ringan karena menggunakan teknologi tepat guna, hasil minyaknya juga lebih higienis dan juga bisa mendapatkan volume hasil minyak yang jauh lebih besar.

Beberapa alat tersebut dapat dipastikan oleh tim konsorsium IPHD—yakni konsorsium pelaksana program ini— dapat dikelola keberlanjutannya oleh masyarakat. Program Institusionalisasi Pengelolaan Hutan Desa adalah program yang dijalankan oleh Yayasan Satunama Gerakan Masyarakat Cinta Desa (G-cinDe), Lembaga Arupa, dan Universitas Mercubuana Yogyakarta atas dukungan pendanaan dari Yayasan Kehati, MCA - Indonesia dan MCC.

Dalam pelatihan pengelolaan kepayang tahap 2 ini, para peserta tidak hanya mendapatkan materi kelas, tetapi lebih banyak diajak untuk melakukan praktek langsung pengolahan minyak kepayang dengan menggunakan alat-alat yang disebutkan di atas. 

Secara teoritik, minyak goreng pada dasarnya ada dua jenis. Jenis pertama yaitu Crowd Oil. Jenis ini adalah minyak goreng komersiil lazimnya berbahan kelapa sawit yang sering kita temui di warung-warung atau minimarket. Warnanya kuning. Biasanya melalui proses penyaringan antara satu sampai 2 kali. Sedangkan minyak jenis kedua yaitu Virgin Oil.

Jenis ini adalah minyak dengan kualitas tinggi. Biasanya warna yang sempurna yaitu mendekati warna air mineral, bening. Semakin mendekati bening, maka virgin oilnya semakin sempurna. Proses penyaringannya memerlukan 3 sampai 5 kali penyaringan. Proses penyaringan menggunakan arang aktif. 

Pelatihan ini tergolong berhasil. Karena berdasarkan target bahwa masyarakat mampu menggunakan alat baru yang lebih efektif dan efisien, serta masyarakat mampu memproduksi kedua jenis minyak yaitu crowd oil dan virgin oil. Partisipasi dari masyarakat juga optimal dan juga berimbang antara peserta laki-laki maupun perempuan.

Dalam pelatihan ini menghadirkan narasumber yaitu Ir. Wafid Dinarto, MSi yang juga merupakan Dekan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Pelatihan berlangsung selama 10 hari dengan masing-masing desa sebanyak 2 hari. Dilaksanakan pada 26-30 Januari 2017 di 5 Desa di Merangin Jambi. Peserta total sebanyak 130 laki-laki dan 138 perempuan.

Rencana ke depan setelah pelatihan ini, masyarakat akan memproduksi minyak kepayang dengan serterusnya akan mengurus packaging serta perijinan PIRT dan hal-hal prosedural lain. Analisis dan rencana bisnis akan terus dimatangkan untuk menuju produksi massal. Sehingga rencana branding merangin sebagai penghasil minyak kepayang akan terjadi.